10.28 pm, oct 22
Berbicara tentang peminta-minta, saya mengingat suatu peristiwa dengan setting sebuah angkot di depok suatu siang, di mana keadaan angkot saat itu tidak terlalu penuh, dan semua penumpangnya adalah perempuan (termasuk saya, yang saat itu duduk di belakang). Kali ini subjeknya adalah si abang tukang angkotnya dengan seorang pengamen sebagai pemicu dan saya kategorikan sebagai objek “pembicaraan” yang menghangatkan suasana siang itu (yang memang sudah hangat tentunya!).
Tak berapa lama setelah saya naik angkot tersebut dari arah ITC (terminal depok), naiklah seorang remaja tanggung, entah siapa namanya, berapa umurnya, dan tinggal di mana – yang pasti tujuannya menumpang angkot yang saya naiki adalah untuk mengamen, karena ia langsung memainkan alat musim sederhana dan memamerkan suaranya yang tak bisa dibilang sempurna (maaf, tapi saya hanya mencoba untuk obyektif, well I’m not a jury also, aren’t i?). Cerita tak berhenti sesampainya si cowok muda ini berhenti menyanyi dan orang2 memberikannya uang sebagai balas jasa menghibur di siang yang panas menyengat – dan sebenarnya tak juga dapat disebut hiburan karena singkatnya lagu yang ia nyanyikan, hehe – tapi justru mencapai klimaks saat si anak telah turun dari angkot tersebut.
Mengapa demikian?
Karena yang menjadi bahan renungan saya (sebelumnya bahan omelan dan prihatin saya sebagai penonton) adalah omongan dan protes sang supir angkot yang ngomel tak karuan ketika angkot mulai jalan lagi setelah si pengamen tanggung itu turun dan melanjutkan perjalanannya. Si supir angkot tersebut MENGOMENTARI perbuatan penumpang angkotnya yang menurutnya BEREBUT memberikan nafkah untuk si pengampen tadi, padahal uang yang diperoleh tersebut hampir pasti akan dibelikan obat (baca : bukan obat pilek, batuk atau pusing karena sakit, tapi obat-obatan buat mabok, teler, fly, atau apapun itu namanya – yang jenisnya juga saya gak hapal). Tadinya saya tak terlalu menggubris omongan si supir (yang nadanya semakin meninggi dan logatnya tak bisa dibohongi pasti dari sumatra – haha, sempet2nya menganalisa asal orang di tengah huru-hara yee??), tapi ni orang beneran deh, makin nyolot dan ngebego2in orang2, termasuk penumpangnya di belakang yang menurutnya munafik dan bodoh, ikut merusak generasi muda.
Selintas...
Supir angkot : (berkata pada ibu yang ada di sebelahnya, dengan nada tinggi)
“Cobalah bu! Orang-orang ini, baru aja ada anak macam gitu, langsung berebut ngasi uang! Udah kayak gak laku lagi uangnya nanti. Padahal tau ibu diapakan uang itu? Dibelikan minuman bu! Sama obat2! Macam aku tak tau aja! Dimana-mana sama aja mereka, udah sering aku liat!”
Ibu-ibu 1 : (bingung mo jawab apa, males juga nanggepin supir angkot nyolot)
Ya..
Supir angkot : (masih nyolot)
“Padahal bu, masih banyak orang yang butuh uang kan, kalo memang mau ngasi carilah benar-benar! Jangan sok kaya dengan ngasi ke pengamen trus berebutan kayak dapat pahala aja! Coba bu, dapat pahala apa mereka? Kalo dibelikan minuman uang itu”
Ibu-ibu : (makin males, tapi akhirnya mencoba menjawab)
“ya pak, kita kan memberi dengan niat baik, itu yang Tuhan tu, kalau ternyata dipergunakan untuk niat yang tidak baik ya bukan urusan kita lagi, karena toh kita memberi bukan dengan tujuan merusak dia, tapi untuk menyelamatkan dia. Begitu pak!”
Supir angkot : (melengos)
“oh gitu ya bu? Jadi kalau kita kasih uang trus uang yang kita kasih dipake untuk beli obat tak apa? Bukannya dosa kita? (dengan nada sedikit mengejek – seakan tak percaya)
Ibu – ibu : “ya kan kita gak tau juga, pak... dia kan gak ngobat di depan kita”
Supir angkot : “tapi saya sering liat begitu, bu. Dimana-mana sama aja anak2 itu! Ngobat semua!”
Yak!
Percakapan yang saya ingat sampai di situ karena saya kembali sibuk dengan pikiran saya sendiri – tentang omongan nyinyir si supir hampir pasti – yang mau tak mau bikin saya empet siang2 bolong!
Mau orang ngasi uang ke pengamen itu kek, nggak ngasi kek, apa kek pertama ya gak ada kaitannya dengan dia sendiri, toh penghasilannya sebagai supir angkot tak berkurang karena orang menyisihkan sebagian untuk si pengamen juga kan? Kedua, kalau memang dia keberatan, kenapa dari awal dilarang buat nebeng di angkotnya juga? Dan ketiga, mau diapain juga tu duit juga gak ada kaitannya dengan dia juga kan? – walaupun kalau benar tu duit dipake buat ngobat, mending mati aja tu anak ya? (astaghfirullahaladzim... sabar qor.. sabaaaaaarrr).
Saya jadi mikir posisi saya dan si supir angkot apa sama dalam kasus bapak peminta-minta di jembatan busway tadi? Ketidakrelaan melihat si bapak menggunakan uang jerih payahnya berdiri menengadahka tangan untuk sebatang rokok apakah sama dengan omelan panjang si supir nyinyir yang tak ikhlas angkotnya menjadi ajang pemberian rezeki pada pengamen tanggung yang dicurigai sebagai pemakai (obat-obatan terlarang)? Atau ada unsur iri hati bin dengki di hari si supir yang empet ngeliat si anak dengan mudahnya bergelayutan dari satu angkot ke angkot lain untuk mengumpulan uang dengan modal kecrekan, sedangkan dia harus berjuang dengan kopling, rem dan gas sepanjang hari bermodal bensin pula untuk mengumpulkan rezeki?
Wallaualambissawab!
Bisa jadi supir angkot itu memang memiki kondisi yang sama dengan saya, yang kehilangan semangat kemanusiaan pada seseorang (tapi dia mah sama semua pengamen, saya hanya kecewa pada beberapa, belum semua kok!) yang dianggap telah menghancurkan kepercayaannya (mungkin akibat apa yang ia lihat) karena mempergunakan uang hasil ngamen untuk ngobat, sementara saya kehilangan simpati dan kecewa pada seorang bapak karena sebatang rokok yang ia hisap bersamaan dengan kondisinya yang masih menengadahkan tangan mengharapkan belas kasihan orang. Tapi saya bersyukur saya tak sempat ngomel2 pas berhadapan dengan si bapak-bapak peminta-minta tersebut, tak seperti si supir angkot yang justru karena kenyinyirannya sukses membuat saya, penumpang lain, lain dan lain di belakang dan di depan merasa terganggu dan saling melihat satu sama lain – dan mungkin berfikiran sama, bertanya-tanya apa kita gak salah naik angkot? Kenapa si orang mulutnya lemes banget sih? Yaudahsih suka2 tuh anak juga kali...
Walhasil, itulah hidup!
Terkadang saya menjadi pelaku yang ikut meramaikan suasana, terkadang saya menjadi pengamat yang berusaha untuk budiman dan berperikemanusiaan. Aneh rasanya ketika berada di posisi supir yang ”merasa” tau bahwa uang itu dipergunakan untuk hal yang tidak baik tapi melihat kenyataan masih ada saja orang yang mau menyisihkan uang untuk si pengamen, dan di sisi lain saya adalah salah satu dari ”orang bodoh” yang dituduh supir angkot itu sebagai ”manusia yang sok mencari pahala dan munafik” – awas lo pir! – ikut panas juga mendengar komentar2 ajaib yang sesukanya keluar dari mulutnya. Bisa-bisanya dia ngomong begitu di tengah perempuan2 yang memiliki kemungkinan untuk protes – emmm saya sih iya, gak tau deh yang lain, hehe – karena dikatain seenak udelnya! Kalo saya kemudian turun dan memutuskan untuk menolak membayar gimana? Sebagai pelampiasan sakit hati saya dan impas dengan omongan nyelekitnya? (sudah pasti saya ditereakin kok, jadi jangan khawatir pemirsa, saya bayar kok si angkot walau dengan hati bersungut-sungut karena empet denger komentar anyep si supir).
Pelajaran moral : ini baru beneran, mulutmu harimaumu!
No comments:
Post a Comment