Wednesday, October 22, 2008

jembatan busway karet



9.18 pm, oct 22

Masih inget lagu “Lihat Lebih Dekat” nya Sherina?
Hmmm... tadi sepanjang perjalanan pulang dari kantor entah kenapa lagu itu sempat mengganggu pikiran saya, dan entah kenapa pula sejalan dengan renungan pulang kantor saya hari ini.

Melewati jembatan busway karet, ada kenyataan baru bahwa jumlah peminta-minta bertambah cukup signifikan. Kalau dulu (sebelum lebaran) berkisar 3-4, sekarang ada penambahan 2-3. Kalau sebelumnya bisa ditemui pada posisi tangga turun ke arah casablanca, sekarang tak jauh dari turunnya penumpang dari busway dan baru akan naik ke atas jembatan kita sudah bisa menemukan sosoknya. Jenis kelamin bervariasi, walaupun hampir 80% laki-laki dan sebagian besar adalah pemain lama yang sudah saya hafal raut wajahnya (bukan kurang kerjaan lho, tapi mau gimana lagi tiap hari i’ve to walk through it) dan mau tak mau ya terpatri wajah itu satu demi satu di benak saya – dan sejujurnya proses pengenalan itu sempat membuat saya kecewa, karena sempat melihat salah satu (atau salah dua? Salah tiga? Atau jangan2 semuanya?) dari mereka merokok. Ya... merokok, smoking, menghisap rokok, whatever it’s called, di depan mata saya.
Padahal batin saya masih tergerus melihat keberadaan mereka, dengan umur yang bisa dibilang cukup senior, dan keberadaan mereka di jembatan busway sebagai kaum peminta-minta, ternyata masih bisa beberapa dari mereka merokok. Ya.. merokok!
Maaf sebelumnya jika postingan ini menyinggung perasaan orang2 yang berseberangan ide dengan saya tentang rokok. Saya bukan penentang hak asasi di bidang “menikmati rokok” atau penentang kaum peminta-minta yang merasa memiliki hak yang sama untuk merokok, tapi ya Allah, lihat apa yang terjadi di depan saya, seorang bapak-bapak tua yang tuna netra (saya meyakini demikian karena dia berdiri dengan menopang sebuah tongkat, dan matanya tidak terbuka dengan jelas, dengan tangan yang satu menengadah ke atas) yang sebelumnya mengundang simpati – saya, ya, yang lain saya kurang paham dan tidak terlalu perduli dengan pikiran orang2 yang lalu lalang di jembatan itu – beberapa hari kemudian terlihat menghembuskan asap dari mulutnya, dan di sela jari-jarinya tersisip sebatang rokok yang telah terbakar setengah. Nah lho! Jangan salahkan saya kalau rasa simpati saya kemudian hancur berkeping-keping dan luluh lantak jatuh nyungsep ke bawah jembatan.
Sejak malam itu setiap melihat si bapak tua selalu terlintas dalam benak saya, apa sebenarnya yang ia fikirkan? Di saat ia berdiri di sana dan menunggu belas kasihan orang2 yang lewat, apakah benar ia mengharapkan belas kasihan orang2 tersebut? Apakah ia berdiri di sana membela kepentingan pribadinya tanpa ditunggangi kepentingan orang lain yang berkesempatan memperalatnya? – secara ia dikategorikan tidak dapat melihat, menurut saya dia termasuk rentan untuk diperalat, bagaimana ia mengenali uang yang ia peroleh tanpa bantuan orang lain yang bisa melihat? Kecuali jika ia memang buta sejak lahir dan memiliki kemampuan untuk mengenali apa yang ia punya dengan indra perabanya. Lebih jauh lagi, saya sering mempertanyakan (dan tak kunjung mendapatkan jawaban tentunya – karena pertanyaan ini sampai detik ini tersimpan dalam benak saya – emm pernah saya utarakan dengan salah satu teman kerja yang sempat pulang bareng) mengapa sang bapak peminta-minta itu merokok? Dan kalaupun ia merokok, mengapa ia lakukan itu di tempat yang sama di mana ia berjuang untuk mendapatkan rezekinya dari TUHAN?
Mungkin fikiran si bapak begitu simpel, dan tak seribet saya (yang memang terlahir demikian, haha) dan yang ia rasakan saat itu adalah ia hanya ingin merokok, dan that’s it! Dia pun menghisap rokoknya, tak perduli saat itu kerumunan lalu lalang orang melewati jembatan mungkin ada yang sadar atau tidak, peduli atau justru apatis, kasihan atau malah kesal menatapnya.
Saya, sejujurnya perasaan melihatnya pertama kali dengan sebatang rokok itu, emmm kesal, ya... kesal! Merasa dibohongi, dibodohi – berlebihan mungkin, tapi bagi saya, pangan adalah kebutuhan utama manusia, jadi dalam benak saya yang dhaif ini bapak tersebut bertengger di sana dengan alasan kemanusiaan dan cukup urgent – yaitu menanti rezeki untuk makan, entah untuk dia seorang atau juga untuk keluarganya. Kalaupun bukan karena alasan perut, saya meyakini masih ada kebutuhan pokok manusia lainnya seperti sandang dan papan (bukan?) yang juga harus terpenuhi. Dan entah mengapa saya tidak melihat korelasi rokok dengan keberadaan si bapak di kasus ini. Maaf sekali lagi kalau tulisan saya ini sarat nada kecewa atau apatis terhadap perokok – atau bapak yang merokok dan mungkin tak memiliki kaitan apapun dengan saya dan merasa haknya sebagai warga negara untuk merokok tak berhak saya ceramahi! Tapi saya jujur mengatakan bahwa saya kecewa..

Saya kecewa dengan sikap si bapak.
Saya kecewa dengan perbuatan si bapak.
Saya kecewa dengan pilihan si bapak.

Bukankah uang untuk mendapatkan rokok tersebut (kalo iya rokok itu ia beli) bisa lebih bermanfaat jika dipergunakan untuk hal lain? Entah itu untuk ia makan, atau anak istrinya yang menanti rezeki darinya?
Walaupun mungkin harga si rokok dengan penghasilannya (saya tak tau berapa dan tak tertarik menghitungnya dengan hitungan matematika atas dasar kemungkinan-kemungkinan) tak membuat apa yang ia peroleh berkurang jauh, tapi tetap saja, saya yakin uang untuk rokok itu masih jauh lebih berguna (insya Allah) untuk hal lain, dibanding untuk membeli rokok!
Lalu bagaimana jika rokok itu ia peroleh tanpa menukarkannya dengan uang?
Bagaimana kalau rokok itu ia peroleh dengan cuma-cuma alias gratis?
(alangkah baiknya orang yang memberikan rokok tersebut pada si bapakAPA DIA TAK MEMILIKI HAL LAIN UNTUK DIBERIKAN SELAIN SEBATANG ROKOK??? Nauzubillah... berkobar rasanya semangat saya untuk memberantas makhluk seperti ini).
Dengan suksesnya makhluk ini telah berhasil membuat saya kehilangan simpati untuk si bapak tua.
Semoga (kalau benar rokok ini gratis oleh seseorang) di akherat kelak saya bisa bertemu dengan orang tersebut dan mempertanyakan alasannya atas tindakannya yang budiman itu (maaf pemirsa, terus terang perasaan saya masih berkobar-kobar saat ini!).

Mungkin simpati saya tak berarti banyak, pun mungkin tak ada artinya, karena si bapak tua tak pernah tau tentang alam pikiran saya, dan dia tak tau salah satu pengagumnya telah kehilangan pesonanya, pesona untuk melanjutkan simpatinya, akibat sebatan rokok. Toh kalaupun saya merasa reluctant untuk memberikannya rezeki yang pantas ia terima, masih banyak orang di luar sana yang masih mau membagi apa yang ia punya dengan si bapak tua. Mungkin pemberian saya pun tak banyak membuat perubahan atas penghasilannya, sehingga it makes no difference to him.
Tapi rasa sakit yang melanda saya belum sembuh benar, walaupun kejadian itu terjadi beberapa waktu lalu. Setiap saya melewati sang bapak, peristiwa mengenaskan bagi dunia kemanusiaan itu masih menghantui saya, dan saya terpaksa melengos dan berpura-pura tak melihat si bapak, dengan perasaan (sedikit) sedih dan kecewa.
Mungkin ada yang berfikir kalau apa yang saya rasakan terlalu berlebihan, dan tak sepantasnya saya complain tentang orang yang tak ada hubungannya dengan saya – toh, kalo mau, kasih aja duit sama si bapak, selesai ceritanya – ato yang diemin aja, anggap aja dia gak ada, ya kan? – tapi sayang perasaan saya masih berjalan, teramat baik untuk kasus ini.


Pelajaran moral : bukan hanya mulutmu yang menjadi harimaumu, tapi tindakanmu pun adalah harimau dalam hidupmu!

No comments: