well it has been quite a long time juga ya saya tidak "menulis"?
ya bisa dibilang relatiflah, hehe :D
secara postingan terakhir yang saya upload sulit dikategorikan sebagai tulisan, abis "agak-sedikit-lumayan-penuh-kekesalan-yet-i dont regret", hehe...
Back to the story of this day, yak emm.. not in a very good mood however, but i do try to share something, which lately-constantly-often crosses my mind. something called feeling, atau perasaan.
Pada dasarnya saya manusia yang 'super-duper-sensitif-cengeng' (syukur yang terakhir disebut agak berkurang semenjak kuliah - apa semenjak tinggal sendiri ya? ya sama lah itu), dan sejujurnya saya sangat mudah tersentuh, tersinggung, tertawa, sedih, senang, dan cepat empati dengan kondisi, apalagi kondisi yang menurut saya tidak sepantasnya terjadi.
salah satu contoh 'kesensitifan' saya, yang mungkin agak lebay (but i'm human, so i think it's wajar lah, ya gak? bilang aja ya!!!) adalah setiap kali saya melewati 'bapak-ibu peminta-minta' (di pinang atau di depok or jakarta sama aja kayaknya, rameee), yang ada di fikiran saya adalah : if once i become the president (or at least i have enough money - ya lawyer terkenal kek - pengusaha tajir ewerewer kek) i'll pick all of them, and put them in a big-big house of mine - which i built by myself with my own money, and i'll take care of them just like what i'll do to my own parent. I won't let any of them (kalau orang malayu cakap) merempat-rempat di jalan, mengais rezeki atas dasar rasa kasihan orang lain.
Fikiran saya pada saat (setiap) saya bertemu mereka ya hal itu, terus berlanjut dari saya kecil sampai sekarang while i wonderin kok presiden kita udah ganti berkali-kali tapi keadaan negara masih begini-begini saja (waduw, jadi berat ngomongin negara ni? hahaha).
Balik ke masalah sensitif, alhamdulillah makin bertambahnya umur, kadar sensitif saya cenderung menurun, ya mau gimana lagi, kalau semuanya mau dibawa pakai perasaan, bisa menitik teruslah si air mata ini, begitu bukan? Bagusnya, ya, saya jadi lebih bisa menahan perasaan saya, apa yang sepatutnya saya cerna dulu di kepala sebelum saya ucapkan, jadi bisa ditahan.
Nah, thesedays saya sedang belajar untuk menahan perasaan saya - emm atas suatu kasus nyata kehidupan saya, dan saya belajar untuk menggunakan logika sebagai dasar atas pengambilan keputusan atau tindakan saya. Karena seringkali (apa selalu) saya berpegang teguh pada hati (perasaan) untuk memutuskan sesuatu. Untuk hal-hal kecil misalnya, mau makan di mana, mau pergi ke suatu tempat, atau mau ketemu orang, selalu saja saya menggunakan insting saya untuk berkata "YA" atau "TIDAK".
Unfortunalely untuk kasus yang terakhir ini, saya ternyata salah besar!
Karena nyatanya, i almost beaten up - by my own feeling actually, logika yang saya bangga-banggakan sebagai "pencerahan atas keputusan masa depan" saya masih belum cukup kuat untuk menghadang lajunya si perasaan ini dalam mempengaruhi kehidupan saya. Tetap saja si perasaan dan hati yang sudah digadang-gadang untuk 'tidak (cepat) ikut campur' dalam urusan ini nyelonong aja masuk, and now i'm laughing at myself, hehe. Ternyata saya tidak pernah berhenti untuk menjadi manusia sensitif. Ternyata si hati (perasaan) meronta-ronta ingin diajak serta memutuskan sesuatu (atau apapun dalam hidup saya). Ternyata dalam hal apapun, sisi manusia saya jauh lebih kuat dibanding sisi 'robot to be' saya. Ternyata sisi manusia yang 'lembut-hati-dan terlalu berperasaan' itu sulit terpisahkan walaupun saya mencoba sekian lama to be tough and flat, and now i'm still a human indeed.
Satu hal yang harus disyukuri, berarti saya masih manusia sampai detik ini.
dan (sayangnya) masih akan ada rasa kasihan atas kemiskinan, kebodohan, dan kekurangan atas apa yang saya lihat setiap harinya,
dan (sayangnya) masih akan ada rasa sakit, cemburu, kesel dan emosi (dengan efek idung kembang kempis - perut mual-mual) setiap kali menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan saya,
dan (sayangnya) masih akan ada air mata yang jatuh, karena kekecewaan dan kesedihan saya sebagai manusia biasa.
saya, masih manusia biasa, ternyata...
No comments:
Post a Comment